“Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya” ( Pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.)

Rabu, 26 Oktober 2011

Islam Ilmu dan Masyarakat

Bismillahirrahmanirrahim, Assallamu'alaikum Wr.Wb
Didalam blog ini akan dihidangkan tiga buah pidato yang di ucapkan oleh Mohammad Hatta, beliau adalah Wakil Presiden Republik Indonesia yang Pertama. Pidato ini diucapkan dalam kunjungan Beliau ke India pada bulan Oktober/Nopember  tahun 1955. Mengingat soal-soal yang beliau kupas, sangat perlu diketahui oleh bangsa kita didalam negeri. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan kembali buah pikiran beliau melalui tulisan di blog saya yang sederhana ini.  Semoga buah pikiran beliau yang saya tulis kembali ini membawa manfaat bagi perkembangan pikiran, terutama untuk pemuda dan pemudi demi kemajuan bangsa dan agama. Amin! Pidato yang pertama diucapkankan beliau di Universitas Aligarth pada tanggal 29 Oktober 1955. Dihadapkan pada perkumpulan Mahasiswa Universitas Aligarth India. Berikut ini adalah pidato pertama yang beliau sampaikan pada Mahasiswa Universitas Aligarth India:

Apabila saya berdiri disini untuk menguraikan sepatah dua patah kata, maka ucapan saya ini terutama saya tujukan kepada mahasiswa yang belajar pada universitas ini. Apa tujuan tuan belajar kemari? Sudah tentu tidak semata-mata untuk mempelajari ilmu saja! Sebab, berbagai ilmu yang diajar disini, dapat juga dipelajari pada tempat lain , pada universitas lain. Apabila tuan datang belajar pada universitas islam ini, sudah tentu ada keinginan dalam hati tuan untuk mempelajari ilmu pengetahuan diatas dasar pandangan hidup islam.

Orang akan bertanya: ,,Apakah tidak harus dibedakan ilmu dan agama?” Memang, ilmu dan agama berlain-lain tujuannya dan terpisah pula medannya. Ilmu mengenai soal pengetahuan ; agama soal kepercayaan. Pengetahuan dan kepercayaan adalah dua macam sikap yang berlainan daripada keinsafan manusia. Pelita ilmu terletak diotak, pelita agama terletak dihati.

Ilmu memberi keterangan tentang bagaimana duduknya suatu masalah dalam hubungan sebab dan akibat. Ilmu mempelajari hubungan kausal diantara sejenis masalah. Kebenaran yang didapat dengan keterangan ilmu hanya benar atas syarat yang diumpamakan dalam keterangan itu Karena itu keterangan ilmu relatif sifatnya. Orang yang berilmu menerima tiap kebenaran yang didapat dengan penyelidikan ilmu dengan pandangan yang kritis. Sikap yang kritis itulah yang menjadi tabiat ilmu. Tiap-tiap pendapat yang dikemukan diuji kebenarannya. Itulah yang membawa kemajuan ilmu. Boleh dikatakan : Ilmu bermula dengan sikap tidak-percaya. Agama bermula dengan percaya. Ia menerima suatu Kebenaran dengan tidak mau dibantah. Kebenaran agama bersifat absolut. Percaya adalah pangkal dan tujuan penghabisan dari pada agama. Menurut dasarnya yang sedalam-dalamnya  agama menghendaki persatuan umat manusia dalam persaudaraan. Ia mengemukakan dasar-dasar normatif, bagaimana mestinya. Tujuan agama ialah memberi pegangan hidup kepada manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat untuk berbuat yang benar, yang baik, yang adil, yang jujur dan yang suci, supaya ada kesejahteraan dalam hidup manusia dan bangsa.

Tetapi, sungguhpun agama mempunyai medannya sendiri, terpisah dari medan ilmu, agama adalah datum bagi ilmu. Sebagaimana ilmu yang dipahamkan dapat memperdalam keyakinan agama, demikian juga kepercayaan agama dapat memperkuat keyakinan ilmu dalam menuju cita-citanya. Ilmu dituntut, pada hakekatnya untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia. Tidak sedikit pengorbanan yang diberikan oleh pujangga ilmu sepanjang masa untuk mencapai pengetahuan guna keselamatan hidup manusia dan perbaikan masyarakat. Kekuatan jiwa untuk berkorban itu sering diperoleh dari tekad dan keyakinan agama. Bukankah Albert Einstein yang berkata didalam bukunya ,,Out of my later years” :

  • Now, even thought the realms of religionin science in themselves are clearly marked off from each order, nevertheless there exist between the two, strong reciprocal relationships and devendencies. Though religion may be that which determines the goal, it has, nevertheless, learned from science, in the broadest sense, what means will contribute to the attainment  of the goals it has setup. But science can only be created by those who are thoroughly imbued with the aspiration towards truth and understanding. This source of feeling, however, springs from the sphere og religion. To this there also belongs the faith in the possibility. That is the comprehensible to reason. I cannot conceive of a genuine scientist without that profound faith. The situation may be expressed by an image : Science without religion is lame, religion without sience is blind.
  • "Walaupun daerah agama dan daerah ilmu nyata terpisah satu sama lain, namun antara keduanya terdapat pertalian dan hubungan yang kuat timbal-balik. Walaupun agamalah yang menetapkan tujuan, namun agama telah belajar dari ilmu dalam arti yang seluas-luasnya, alat-alat apa yang dapat membantu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Akan tetapi ilmu hanya dapat diciptakan oleh orang-orang yang jiwanya penuh dengan keinginan untuk mencapai kebenaran dan pengertian.  Dan sumber ini memancar dari daerah agama. Kedalam daerah ini termasuk juga kepercayaan akan kemungkinan, bahwa hukum-hukum yang berlaku bagi kehidupan duniawi adalah rasionil, yaitu dapat diterima akal. Saya tidak dapat memahamkan adanya seorang sarjana besar yang tidak mempunyai kepercayaan yang dalam itu. Kedudukannya dapat dinyatakan sebagai berikut : Ilmu dengan tiada agama lumpuh, agama dengan tiada ilmu buta”.
Sekarang nyatalah, bahwa ilmu dituntut tidak semata-mata untuk tahu saja, untuk memuaskan keinginan akan pengetahuan. Ilmu dituntut guna keselamatan dan perbaikan hidup manusia diatas dunia ini. Sebagai anggota masyarakat orang-ilmu bertanggung jawab, sekurang-kurangnya merasai tanggung jawabnya, tentang baik atau buruk keadaan masyarakat.

Memang, ada masanya dalam sejarah yang orang mempelajari ilmu semata-mata untuk tahu saja dengan tiada mengharapkan keuntungan dari itu. Misalnya dizaman yunani purbakala, dimana ahli-ahli pikir menguras pikirannya untuk mengupas masalah yang dilihatnya dialam. Senantiasa berhadapan dengan alam yang begitu luas, yang sangat indah dan ajaib tampak pada malam hari, timbul dihatinya untuk mengetahui rahasia alam itu. Hati mereka terpikat dengan irama yang begitu tetap dalam edaran bintang, matahari dan bulan. Lalu timbul pertanyaan didalam hati  : apa yang mengatur peredaran yang begitu teratur, adakah hukum yang menguasai alam ini? Dan adakah atau siapakah arsiteknya? Kemudian timbul pula pertanyaan didalam hati : darimana datangnya alam ini, betapa jadinya, bagaimana kemajuannya dan kemana sampainya? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa manusia memikirkan masalah kausalitet, soal hubungan sebab dan akibat. Tiap yang jadi ada sebabnya dan ada kelanjutannya. Berhubungan dengan itu datang pula dua masalah teoritika. Apakah hubungan sebab dan akibat itu berlaku menurut garis yang lurus ataukah sebab, keadaan dan kelanjutan terjadi dalam kedudukan yang bertentangan, menurut jalan dialektik? Demikianlah beratus tahun alam besar menjadi pertanyaan, yang mengikat perhatian ahli-ahli pikir yunani.

Ada suatu cerita tentang filosof yunani yang pertama, Thales. Ia suka sekali menyisihkan diri dari pergaulan yang biasa  dan kesenangannya adalah memikirkan masalah alam semesta dan mencari keterangan tentang sebab yang penghabisan dari segala yang ada. Pada suatu hari, ia sedang berjalan-jalan dan matanya asyik memandang keatas, melihat keindahan alam, ia terjatuh kedalam lobang. Seorang perempuan tua yang kebetulan melewati tempat itu menertawakan dia, sambil berkata: ,,Hai Thales, jalan dilangit engkau ketahui, tetapi jalanmu sendiri diatas bumi ini tidak kau tahu.”

Tetapi tidak selamanya orang Grik dahulukala memikirkan masalah alam, semata-mata untuk tahu saja. Lambat laun pengetahuannya tentang alam dan hukum-hukumnya itu dipergunakannya untuk memperbaiki dasar hidupnya diatas dunia ini. Dari ilmu teoritika, yang dituntut selama ini, timbullah ilmu praktika.

Kemudian, disebelah alam besar, yang berada diluar dirinya, terdapat oleh ahli pikir Grik alam kecil yang berada didalam dirinya. Alam ini tiada terlihat dengan mata, melainkan dapat dirasakan adanya. Lalu timbul pertanyaan didalam hatinya : apa ujud lahirku, apa kewajiban diriku? Bagaimana seharusnya sikap hidupku? Dan apa yang harus kubuat untuk dapat mendatangkan kebahagiaan? Dengan keinsafan itu manusia mulai menghadapkan kedepannya masalah etika.

Sejak etika mulai mempengaruhi pikiran manusia. Ia tidak dapat lagi mempelajari ilmu semata-mata untuk pengetahuan ilmu saja. Ilmu pengetahuan yang di perolehnya itu ia pergunakan untuk perbaikan kehidupan. Ilmu menjadi alat yang penting dalam perjuangan buat hidup dan untuk mencapai penghidupan yang lebih sempurna.

Sejarah ilmu alam dan teknik membuktikan sejelas-jelasnya betapa besar pengaruhnya atas kemajuan masyarakat dari masa kemasa. Pendapat-pendapat baru dalam daerah teknik segera dipergunakan orang untuk menyempurnakan produksi serta alat-alat perhubungan didarat dan dilaut juga di udara. Begitulah revolusi teknik segera disusul oleh revolusi industri, transport dan distribusi. Kita sekarang masuk kedalam masa yang sering orang sebut ,,abad atom”. Kelanjutan ilmu tentang ini sangat dahsyat, karena tenaga atom itu pertama kali dipergunakan untuk menghancurkan. Tetapi sekarang telah timbul keinsafan, bahwa tenaga atom itu harus dipergunakan untuk keperluan peradaban, untuk memperhebat industri berbagai rupa dan untuk perbaikan jaminan hidup. Menuntut ilmu untuk kemajuan ilmu itu harus, tetapi disebelah itu terdapat kegiatan untuk mempergunakannya didalam praktik. Ilmu digunakan untuk mencapai perbaikan hidup manusia diatas dunia yang jauh dari sempurna ini. Sekarang timbul pertanyaan : apakah sumbangan islam dalam hal ini ?

Islam adalah agama, bukan ilmu. Sebagai agama ia tidak dapat langsung memberi isi kepada ilmu. Sumbangan islam kepada ilmu terdapat pada anjurannya kepada penganut-penganutnya untuk mempelajari ilmu sebanyak-banyaknya dimana saja dan dari siapa saja. Kaum muslimin diharuskan menuntut kemuliaan hidup dan ketinggian derajat, untuk mencapai tingkat itu sangat diperlukan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya maka diharuskan menuntut ilmu, seperti ucapan syeikh muhammad abduh ,,disegala tempat, serta menjemputnya dari segala lidah”. Akan agama orang tempat menuntut ilmu tidak menjadi soal, yang diperhatikan hanya hikmat dan kepandaiannya. Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

,,Alhikmatu dhaal-latul mukmini faihasu wadjadaha fahua ahaqqu biha”. (Hikmat itu barang tuntutan mukmin, dimana saja ia dapati ialah yang paling patut menjemputnya).

Sejarah islam membuktikan pula, bahwa berabad-abad lamanya Islam menjadi pendorong atas penyebaran ilmu. Pujangga-pujangga islam dahulu kala menghidupkan kembali ilmu-ilmu Grik yang telah terpendam dimasa Zaman Tengah dan menyebarkan ke Eropa dengan melalui Asia Minor, Afrika Utara dan Spanyol. Sisa-sisa kebesaran kultur Islam di Spanyol masih kelihatan si Spanyol Katolik hingga sekarang. Kalau tidak karena dorongan agama Islam, tidak mungkin suatu bangsa di Arabia, yang terkebelakang dalam segala peradaban dan kebudayaan, dalam tempo yang begitu singkat menjadi pemangku dan penyebar ilmu.

Sumber dari pada kegiatan itu ialah karena Islam tidak membatasi tugas-tugas penganutnya hingga urusan akhirat saja. Islam adalah buat dunia dan akhirat. Islam tidak saja menyuruh orang beribadah, menyembah tuhan semata-mata, akan tetapi mewajibkan juga orang mengatur penghidupan didunia sebaik-baiknya.

Firman Allah dalam Alquran : ,,Wabtaghi fimaa aataakallahu ddaaral aakhirata walaa tansa nasibaka minaddunya, waahsin kama ahsanallahu ilaika walaa tabghil fasaada fil ardhi innallaha laa yuhibbul mufsidiin”.
Artinya : Tuntutlah akhiratmu pada tiap-tiap kesempatan yang dibukakan Allah, dan jangan lupa akan apa yang menjadi bagianmu mengenai urusan dunia, dan berbuatlah kebajikan (pada orang lain) sebagaimana Tuhanpun berbuat kebajikan kepadamu, dan janganlah berusaha menimbulkan kebinasaan dimuka bumi ; Tuhan tidak menyukai orang-orang yang berbuat kebinasaan.

Seperti diketahui, Islam artinya damai. Tidak didalam ibadahnya saja, juga dalam salamnya orang Islam mengucapkan damai! Damai bagi segala umat manusia. Dan damai pulalah hukum yang setinggi-tingginya didalam Islam. Sebab keadilan kehidupan baru tercapai, apabila orang tenteram hatinya, jiwanya dikuasai perasaan damai terhadap keadaannya dan alam sekitarnya. Hanya dunia yang damai, berdasarkan persaudaraan antara segala manusia dapat menimbulkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam masyarakat.

Sebenarnya didikan Islam adalah didikan damai. Segala ibadah kita, kita tujukan dengan sepenuh-penuh makrifat kepada Allah, yang Maha Esa, Tuhan seru sekalian alam. Sembahyang lima kali sehari kita lakukan dengan muka yang bersih serta jiwa yang murni, karena hanya dalam keadaan begitulah kita dapat berhadapan dengan Allah, tempat kita menyerahkan seluruh isi jiwa kita, yang kita tidak putus-putus memuji kebesaran-Nya: Allahu Akbar. Sewaktu kita akan menghadap Allah, hati kita harus suci, bebas dari segala perasaan buruk dan niat jahat, bebas daripada amarah. Semua itu terkias pada cara mengambil wudhu’ yang ditetapkan dalam agama. Sungguhpun badan telah bersih sesudah mandi, namun anggota tubuh dicuci juga supaya mulut bersih daripada ucapan –ucapan yang keji, muka bersih sebagai cermin hati, tangan bersih daripada memegang yang tidak halal, telinga bersih dari pada mendengar fitnah dan hasutan dan yang tidak-tidak, kening bersih mencahayakan kalbu yang terang, kaki bersih dari jalan yang serong, sembahyang kita sudahi dengan mengucapkan ,,assalamu’alaikum” kekanan dan kekiri, mengatur damai kepada semuanya, kepada sekitar alam.

Setiap hari, dengan berjangka waktu, kita melatih diri kita untuk menguasai hawa nafsu dan untuk mengontrol diri kita sendiri, untuk menanam dalam jiwa kita perasaan suci dan murni. Tetapi sayang, tidak selalu kita insaf akan segala yang kita perbuat itu. Seringkali kita melakukan ibadah menurut kebiasaan saja dan lupa, yang kita sebenarnya melakukan latihan rohani dan jasmani dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu ada baiknya, kita sewaktu-waktu kita renungkan dengan penuh keinsafan betapa tegasnya pimpinan yang diberikan Islam kepada kita.

Islam memimpin kita kejalan damai, mengajar kita berhati sabar, tetapi semuanya diatas dasar kebenaran dan keadilan. Karena hanya kebenaran dan keadilanlah yang dapat menimbulkan suasana damai. Sebab itu, mencari kebenaran, yang juga ujud yang terutama  bagi ilmu, dan menuntut keadilan keadilan adalah kewajiban yang utama bagi umat Islam.

Segala barang yang baik dan suci tidak didapat dengan begitu saja diatas dunia yang tidak sempurna ini. Semua itu harus diperjuangkan dan perjuangan membutuhkan keberanian. Keberanian menghadapi berbagai kesulitan, Keberanian menderita dan berkorban untuk kemenangan cita-cita. Juga disini Islam memberi pimpinan.

Sendi dari keberanian terletak dalam kepercayaan. Dasar kepercayaan Islam memberi kita pegangan yang teguh untuk berjuang menuntut kebenaran dan keadilan. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang menjadi sebab segala-galanya, ,,yang tidak beranak dan dianakkan, dan tidak ada yang menyamai-Nya", kepercayaan ini dengan sendirinya menimbulkan rasa berani dalam hati orang Islam. Hanya Allah tempat orang Islam Takut, hanya kepada Allah ia menyerahkan segala isi jiwanya. Ia bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak kepada siapapun juga selain dari Allah. Dari tuhan datang kebenaran dan keadilan, dan karena itu orang Islam yang berjuang diatas jalan Allah, tidak pernah merasa takut dan sunyi dimana saja ia berada. Ia merasa didalam jiwanya, bahwa Tuhan senantiasa ada didekatnya, memimpinnya dan melindunginya. Tawakkal menjadi sumber kekuatan bagi pahlawan dan pujangga Islam sepanjang masa. Bagi orang Islam tugas hidupnya dapat dibaca didalam Alquran, terpencar didalam segala fasal. Seperti saja sebut tadi, Islam tidak saja mengatur hal ihwal ibadat dan amal, tetapi mengatur juga sikap hidup manusia didalam pergaulan, menentukan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai warganegara. Ya, dasar pemerintahan negarapun ditetapkan, yaitu musyawarah. Dalam Al-Quran telah tertanam dasar pemerintahan demokrasi. Cara melaksanakan pemerintahan demokrasi itu didalam praktik diserahkan kepada manusia yang berakal, akal yang diperolehnya sebagai anugerah Tuhan.  Dengan akalnya yang diberikan Tuhan manusia harus melaksanakan pemerintahan negara dan susunan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang memberikan bahagia kepada segala umat manusia, semuanya hamba Allah. Manusia harus setiap waktu bersyukur kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam, yang telah menikmati hidupnya. Agar supaya tiap-tiap orang tahu berterima kasih, hidupnya didunia haruslah baik. Mencapai masyarakat, yang menjamin kebahagiaan dan keselamatan hidup bagi semua orang, adalah tugas orang Islam.

Tugas dan suratan hidup orang Islam terpencar diseluruh Alquran, tertulis dalam berbagai ayat. Semuanya itu perincian daripada pokok asasi yang tercantum didalam surat Al-Fatihah. Surat Al-Fatihah yang menjadi pokok dari pada Quran Suci! orang Islam yang mengerjakan ibadah , membacakan ayat Al-Fatihah tidak kurang dari 17 kali dalam sehari. Siapa yang memahamkan isi dan makna surat ini sedalam-dalamnya, ia disitu mendapat petunjuk tentang apa seharusnya tujuan hidupnya. Bagaimana ia harus berjuang diatas jalan Allah  dan darimana ia mendapat kekuatan untuk berjuang.

Tuan semuanya tahu isi surat Al-Fatihah. Sungguhpun begitu untuk sekedar menggenapkan uraian saja, saya sebutkan disini salinannya :

artinya:Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.1 Segala puji2 bagi Allah, Tuhan semesta alam.3 Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai4 di hari Pembalasan.5 Hanya Engkaulah yang Kami sembah6, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.7 Tunjukilah8 Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.9(Al-Qur'an: Surah Al Fatihah)

Alangkah hebatnya getaran jiwa yang ditimbulkan oleh Al-Fatihah ini didalam tubuh orang Islam. Hanya satu Tuhan yang disembah yaitu Allah. Tuhan disembah bukan karena takut, melainkan karena cinta. Tuhan orang Islam sifatnya pengasih dan penyayang. Ia menjadi Hakim dihari kemudian. Artinya, Tuhan orang Islam adalah Maha-Adil. Kepada Tuhan yang Pengasih dan Penyayang serta Maha-Adil itu orang Islam minta pertolongan, minta dipimpin kejalan yang lurus, jalan yang benar dan adil, jalan mereka yang diberkati oleh Tuhan. Ia minta dijauhkan dari jalan yang sesat, jalan mereka yang dimurkai oleh Tuhan. Kekuatan Islam terletak pada tawakkalnya dan pada menyerah sepenuh-penuhnya kepada Tuhan.

Ibadat dan perbuatan orang Islam diatas dunia hendaklah sesuai dengan sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa ; Pengasih dan Penyayang serta adil, dan selalu berdiri diatas jalan yang benar. Kalau tidak akan dikerjakan, apa artinya pujian sebanyak itu yang dipanjatkan kehadirat Allah? Tuhan tidak kekurangan apapun juga, tidak kurang besar dan tidak kurang hormat. Ia adalah Dzat yang lengkap dengan segala rupa. Karena itu segala pujian yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa berarti bersedia melaksanakannya dengan perbuatan diatas dunia yang fana ini.

Penjelmaan dari sifat pengasih dan penyayang itu ialah persaudaraan. Persaudaraan antara orang sebangsa dan antara segala bangsa. Betapa juga besarnya perbedaan faham antara seseorang dengan seorang, antara partai dengan partai tentang berbagai masalah hidup, persatuan bangsa tetap terpelihara, rasa persaudaraan tetap berkuasa. Selanjutnya, persaudaraan segala bangsa hendaklah menjadi tujuan. Hanya diatas persaudaraan itulah bisa tercapai rukun dan damai dalam pergaulan internasional.

Tetapi sebaliknya, ternyata pula, bahwa persaudaraan hanya mungkin diatas derajat yang sama. Antara tuan dan budak, antara si-penindas dengan si-tertindas , tidak mungkin tercapai persaudaraan yang sebenarnya. Rasa persaudaraan tidak bisa dipaksakan, ia harus keluar dari hati yang suci, sebagai sambutan terhadap perlakuan. Untuk mencapai dasar yang sehat bagi persaudaraan bangsa-bangsa sedunia, perlulah lenyap lebih dahulu stelsel imprealisme dan kolonialisme, yang menimbulkan penindasan bangsa yang satu dengan oleh bangsa yang lain dan yang menghalangi kemajuan kebudayaan dan perekonomian bangsa yang tertindas.

Penjelmaan sifat Tuhan Yang Maha Adil, yang menjadi hakim dihari kemudian, kedalam perbuatan kita sehari-hari, terletak dalam melakukan keadilan. Kita, dalam segala perbuatan kita, harus bersifat adil, kita harus cinta kepada keadilan dan bersedia pula membela keadilan didalam dunia ini. Membela keadilan meliputi juga tuntutan, supaya keadilan sosial menjadi dasar didalam pergaulan masyarakat antara manusia dan manusia dan antara bangsa dan bangsa didunia seluruhnya.

Perdamaian yang dituju oleh Islam hanya mungkin tercapai, apabila dunia internasional telah sempurna tersusun berdasarkan hukum. Bukan hukum yang diperintah oleh yang kuat kepada yang lemah, karena itu sebenarnya perkosa, melainkan hukum yang lahir dari sumbernya yang sedalam-dalamnya, menjelma keduni sebagai hasil dari permusyawaratan segala bangsa. Seperti diperingatkan tadi, hukum yang setinggi-tingginya menurut Islam ialah damai. Dan hukum yang lahir dari bermusyawarat  dan berdamai, dengan tiada paksaan, adalah pula keadilan yang sebesar-besarnya, yang dapat dicapai manusia. Diatas dasar ini dunia bisa jadi aman dan damai, bangsa-bangsa didunia akan merasai hidup dalam lingkungan hukum yang adil.

Sebelum ada hukum yang mengikat dan menguasai tindakan tiap-tiap bangsa terhadap yang lain, belumlah sempurna hukum dunia. Dan belum pula dapat dicapai apa yang diciptakan oleh almarhum Roosevelt sebagai kemerdekaan yang ketiga dan yang menjadi slogan dalam Perang Dunia kedua, yaitu bebas dari rasa takut. Apa yang dikemukan itu sebagai dasar dunia baru tidak berbeda dengan tuntutan Islam. Perasaan damai baru bisa meresap dalam jiwa manusia, apabila ia terlepas dari rasa takut, apabila disekitarnya berlaku hukum dan keadilan. Sebab itu umat Islam dari segala negeri mempunyai kewajiban ikut serta berjuang untuk mencapai keadilan hukum dan keadilan sosial didunia.

Keadilan sosial belum tercapai, apabila didalam masyarakat masih terdapat pertentangan yang hebat antara kaya dan miskin, apabila kemakmuran belum merata keseluruh lapisan masyarakat. Manusia harus terlepas dari kesengsaraan hidup, dapat merasai freedom from want, barulah tercapai keadilan sosial. Sumber-sumber produksi dalam negeri harus dikerahkan untuk mencapai kesejahteraan rakyat semuanya. Salah satu jalan untuk mencapai keadilan sosial ialah kooperasi, yang mewujudkan kerjasama dengan dasar tolong-menolong. Organisasi-organisasi kooperasi sesuai benar dengan cita-cita Islam, karena Islam meletakkan tanggung jawab pada individu untuk keselamatan masyarakat seluruhnya. Selanjutnya, untuk mencapai keadilan sosial menurut Islam, negara hendaklah merupakan suatu welfare state (kesejahteraan negara), yang menjamin kemakmuran bagi segala orang. Bukan kemakmuran jasmani saja, melain juga dan terutama kemakmuran rohani. Manusia akan tetap merasa miskin, apabila ia tidak dapat serta dalam perkembangan kultur. Kesejahteraan hidup baru tercapai, apabila ada perimbangan antara kemakmuran jasmani dan rohani. Perimbangan itu hanya tercapai, apabila seruan agama cukup berpengaruh dalam masyarakat.

Ilmu, terutama ilmu alam dan teknik, telah mencapai tingkat kemajuan yang begitu tinggi sehingga, apabila tidak dikekang oleh agama ia mudah menjadi demon (setan) yang sehebat-hebatnya. Dengarlah jeritan jiwa seorang pujangga besar sebagai Albert Einstein didalam bukunya ,,Out of my later years”, terhadap kemajuan ilmu yang dia sendiri sebagian besar menciptakannya :

  • “By painful experience we have learnt that rational thinking does not suffice to solve the problems of our social life. Penetrating research and keen scientific work have often had tragic implications for mankind, producing, on the one hand, inventions which liberated man from exhausting physical labour, making his life easier and richer ; but one other hand, introducing a grave restlessness into his life, making him a slave to his technological environment, and most catastrophic of all creating the means for his own mas destruction. This indeed, is a tragedy of overwhelming poignancy! However poignant that tragedy is, it is perhaps even more tragic that, while mankind has produced many scholars so extremely succesfull in the field of sciense and technology, we have been for a long time so inefficient in finding adequate solutions to the many political conflict and economic tensions which beset use. No doubt, the antagonism of economic interests within and among nations is largely responsible to a great extent for the dangerous and threatening condition in the world today. Man has not succeded in developing political and economic forms and organization which would guarantee the peaceful coexistence of the nations of the world . he has not succeeded in building the kind of system which would eliminate the possibility of war and banish forever the murderous instruments of mass destruction”.
  • Kita telah belajar dari pengalaman yang pahit, bahwa pikiran rasionil tidaklah cukup untuk memecah masalah-masalah penghidupan sosial kita. Penyelidikan yang mendalam dan pekerjaan ilmiah yang hebat sudah seringkali menimbulkan akibat yang sedih bagi umat manusia, menghasilkan pada satu pihak pendapatan-pendapatan yang membebaskan manusia dari kerja badani yang berat, membuat hidupnya lebih mudah dan lebih kaya ; tetapi sebaliknya pendapatan-pendapatan itu membuat hidupnya sangat gelisah, menjadikan ia budak daripada lingkungan technologinya, dan yang paling celaka lagi dari segala-galanya membuat alat untuk menghancurkan sesama manusia secara besar-besaran. Sesungguhnya ini adalah suatu tragedi yang menyedihkan sekali. Betapapun sedihnya tragedi itu, barangkali lebih tragis lagi, bahwa selagi manusia menghasilkan banyak sarjana yang mencapai hasil luar biasa besarnya dalam lapangan ilmu dan teknologi, kita sudah lama sekali tidak berhasil menemukan penyelesaian yang layak bagi pertikaian politik dan ketegangan ekonomi yang sekian banyak melingkungi kita. Tak sangsi lagi, bahwa pertentangan kepentingan ekonomi didalam dan antara bangsa-bangsa sebagian besar menjadi sebab timbulnya keadaan yang berbahaya dan mengancam dunia pada masa sekarang. Orang tak berhasil melaksanakan bentuk-bentuk organisasi politik dan ekonomi yang dapat menjamin hidup berdamai antara bangsa-bangsa didunia ini. Ia tak berhasil suatu macam sistemyang dapat melenyapkan kemungkinan berperang dan menghapuskan untuk selama-lamanya alat-alat pembunuh manusia sekali banyak yang mengerikan itu.” Sekian Albert Einstein!
Ucapan yang tegas ini menyatakan, bahwa pikiran yang menciptakan ilmu harus dikontrol oleh hati yang memeluk perasaan agama, yang memberikan dasar etik kepada pemakaian pendapat-pendapat ilmu didalam praktik hidup. Tujuan ilmu harus sejalan dengan tujuan agama, yaitu mencapai kesejahteraan umat manusia. Ilmu adalah alat ; tujuan ialah kemakmuran jasmani dan rohani! Demikian negara sebagai organisasi masyarakat. Negara bukan tujuan tersendiri, melainkan alat untuk mencapai kebahagiaan, perdamaian dan kemerdekaan bagi rakyat. Bukan rakyat untuk negara melainkan sebaliknya negara untuk rakyat.

Inilah juga cita-cita Islam. Bumi ini dan alam sekitarnya bukanlah kepunyaan manusia, melainkan kepunyaan Allah, tuhan seru sekalian alam. Tuhan yang menjadikan alam ini dan menjadikan bumi tempat kediaman manusia. Kedudukan manusia diatas bumi ini tidak lain melainkan sebagai jurukuasa, yang bertanggung jawab atas keselamatannya seterusnya. Sebab itu kediaman manusia yang mendiami bumi Allah ini ialah memelihara sebaik-baiknya dan meninggalkannya kepada angkatan kemudian dalam keadaan yang lebih baik dari yang diterimanya dari angkatan yang terdahulu dari dia.

Inilah seni pandangan hidup Islam !
Tuan-tuan yang datang belajar ke universitas islam ini dasarkanlah ilmu yang tuan tuntut diatas pandangan hidup Islam. Memang, logika ilmu teteap tidak berubah, tetapi tujuan kemana pengetahuan ilmu itu dikerahkan hendaklah sepadan dengan etik Islam.

Apabila tuan disini mempelajari ilmu alam, ciptakanlah supaya pengetahuan itu nantinya dipergunakan untuk meringankan hidup manusia didalam dunia yang tidak sempurna ini. Tetapi tidak itu saja, isi kepala dan hati tuan, hendaklah dilimpahkan pula untuk perjuangan menentang nafsu dan kebuasan manusia yang mau mempergunakan ilmu untuk membuat ,,murderous instrument of mass destruction”, alat-alat pembunuh manusia sekali banyak. Tuan berdosa kepada Allah apabila tuan abaikan tugas ini.

Apabila tuan disini menuntut ilmu hukum atau ilmu politik atau ilmu ekonomi, pendeknya ilmu sosial, pergunakanlah ilmu itu untuk menciptakan bangunan masyarakat dan negara, yang menjamin keadilan sosial dan persaudaraan, tidak saja antara manusia senegara melainkan juga antara bangsa-bangsa. Tidak semua yang dikataka Iqbal dapat diterima, tetapi suatu kebenaran yang diucapkannya perlu saya sebutkan dalam rangkaian keterangan saya ini. ,,Islam bukanlah nasionalisme, bukan pula imperialisme, tetapi suatu liga bangsa-bangsa, yang mengakui batas-batas negeri buatan manusia dan perbedaan bangsa sekedar untuk memudahkan hubungan saja dan tidak untuk membatasi bentangan sosial anggota-anggotanya”.

Orang Islam melakukan tiap-tiap perbuatan karena Allah. Demikian juga hendaknya sikap tuan dalam menuntut ilmu. Juga ilmu meminta pengorbanan dari penuntutnya, karena hanya dengan berkorban ilmu mencapai kemajuan. Seorang ahli ilmu sosial yang ternama malahan yang terbesar pada abad ini, Max Weber, berkata tentang ini :

  • ,,In science, each of us knows that what he has accomplished will be antiquated in ten, twenty, fifty years. That is the fate to wichh science is subjected ; it is the very meaning of the scientific work, to which it is devoted in a quite spesipic sense, as compared with other spheres of culture for which in general the same holds. Every scientific fulfilment raises new “questions” ; it asks to be “surpased” and outdated . who ever wishes to serve science has to resign himself to this fact. Scientific work certainly can last as “grafications”  because of their artistic quality , or they may remain important as a means of training. Yet they will be suppased scientifically let that be repeated for is our common fate and, more, our common goal. We cannot work without hopping that others will advance further than we have. In principle, this process goes on ad infinitum.”
  • ,, Dalam ilmu kita semuanya mengetahui bahwa apa yang telah kita sudahkan akan menjadi usang dalam waktu sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun. Itulah nasib yang diterima oleh ilmu ; itulah makna yang sebenar-benarnya dari pekerjaan ilmiah, dengan mencurahkan minat yang luar biasa tampaknya kalu dibandingkan dengan daerah-daerah kebudayaan lainnya, yang pada umumnya mempunyai pegangan yang serupa. Tiap-tiap pendapat ilmiah yang sudah ,,selesai” menimbulkan ,,pertanyaan” baru ; ia berkehendak supaya diatasi dan di jadikan usang. Siapa saja yang hendak melayani ilmu, harus menyerahkan dirinya kepada kenyataan ini.  Memang pekerjaan ilmiah dapat berlangsung sebagai ,,kesenangan” karena nilai keseniannya, atau tetap penting sebagai alat latihan. Begitulah pekerjaan ilmiah maunya diatasi secara ilmiah—baiklah ini diluang-ulang mengatakan –karena yang sedemikian itu sudah jadi nasib bagi kita semuanya, lebih lagi, tujuan kita bersama. Kita tidak dapat bekerja dengan tidak mengharapkan, supaya orang-orang lain akan lebih maju dari pada kita. Pada dasarnya, kemajuan ini berjalan dengan tidak ada akhirnya”.
Tanamlah kebenaran ini sebaik-baik dalam hati tuan. Pernyataan dari seorang pujangga besar, yang keluar sebagai hasil pengalamannya sendiri.

  1. Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
  2. Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
  3. Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
  4. Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
  5. Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
  6. Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
  7. Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
  8. Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
  9. Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.