“Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya” ( Pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.)

Sabtu, 12 Mei 2012

Sejarah Pemeliharaan Kemurnian Al Qur'an

Memelihara Al Qur'an di masa Nabi Muhammad

Pada permulaan Islam, bangsa Arab adalah satu bangsa yang buta huruf; amat sedikit diantara mereka yang pandai menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas, sebagai kertas yang dikenal sekarang. Perkataan "Al Waraq" (daun) yang lazim pula dipakaikan dengan arti "kertas" dimasa itu, hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja. Adapun kata "al qirthas" yang daripadanya terambil kata-kata Indonesia "kertas" dipakaikan oleh mereka hanyalah kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu: kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar (korma), tulang binatang dan lain-lain sebagainya.

Setelah mereka menaklukkan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, barulah mereka mengetahui kertas. Orang-orang Persia menamai kertas itu "kaqhid", maka dipakailah kata-kata kaqhid ini untuk kertas oleh bangsa Arab semenjak itu. Adapun sebelum masa Nabi ataupun di masa Nabi, kata-kata "al kaqhid" itu tidak ada bertemu dalam pemakaian bahasa arab, maupun hadist-hadist Nabi. Kemudian kata-kata "al qirthas" itupun dipakai pula oleh bangsa Arab kepada apa yang dinamakan "kaqhid" dalam bahasa persia itu. Kitab atau buku tentang apapun, juga belum ada pada mereka. Kata-kata "kitab" di masa itu hanyalah berarti: sepotong kulit, batu atau tulang dan sebagainya yang telah bertulis, atau berarti surat, seperti kata "kitab" dalam Surah An Naml ayat 28.


Artinya : “Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka." (Al-Qur'an: Surah An Naml, Ayat 28)

Begitu juga "kutub" (jama' kitab) yang dikirimkan Nabi kepada raja-raja dimasanya, untuk menyeru kepada Islam. Karena mereka belum mengenal kitab atau buku sebagai yang dikenal sekarang, sebab itu di waktu Al Qur'anul Karim itu dibukukan di masa Khalifah Utsman bin 'Affan -sebagai akan diterangkan nanti-, tidak tahu mereka dengan apa Al Qur'an yang telah dibukukan itu akan dinamai, dan bermacam-macamlah pendapat para sahabat tentang nama yang harus diberikan. Akhirnya mereka sepakat menamainya dengan "AL Mushaf", (Ism maful dari ashhafa, dan ashhafa artinya: mengumpulkan shuhuf, jamak shahifah, lembaran-lembaran yang telah bertulis).

Kendatipun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tetapi mereka mempunyai ingatan yang amat kuat. Sebab perpegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan sya'ir-sya'ir dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, ansab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya, adalah kepada hafalan semata-mata.

Demikian keadaan bangsa Arab di waktu kedatangan agama Islam itu. Maka dijalankan oleh Nabi suatu cara 'amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al Qur'anul Karim dan memeliharanya. Tiap-tiap diturunkan ayat-ayat itu Nabi menyuruh menghafalnya, dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar (korma) dan apa saja yang bisa disusun dalam sesuatu surat, artinya oleh Nabi diterangkan tertib urutan ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al Qur'an sajalah yang boleh dituliskan, selain dari Al Qur'an itu, yakni hadist atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi , dilarang menuliskannya. Larangan ini ialah dengan maksud supaya Al Qur'anul Karim itu terpelihara, jangan dicampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi. Nabi menganjurkan supaya Al Qur'an itu dihafal, dibaca selalu, dan diwajibkannya membacanya didalam sembahyang. Dengan demikian banyaklah orang yang hafal Al Qur'an. Surat yang satu macam dihafal oleh ribuan manusia, dan hafal sama sekalipun banyak, dalam pada itu tidak ada satu ayatpun yang ditulis. Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan digembirakan oleh Nabi. Beliau berkata: "Di akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada' (orang-orang yang mati syahid)".

Pada peperangan Badar, orang-orang musyrikin yang ditawan oleh Nabi, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang tetapi pandai menulis dan membaca, masing-masing diharuskan mengajar sepuluh orang Muslim menulis dan membaca sebagai ganti tebusan. Didalam Al Qur'an pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Firman Allah:


Artinya : “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis" (Al-Qur'an: Surah Al Qalam, Ayat 1)


Artinya : “Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (Al-Qur'an: Surah Al 'Alaq, Ayat 3,4,5)

Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca, dan bertambahlah banyaklah mereka yang pandai menulis dan membaca itu, dan banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah diturunkan. Nabi sendiri mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menuliskan Al Qur'an untuk beliau. Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah 'Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah. Yang terbanyak menuliskan ialah Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.

Dengan demikian terdapatlah di masa Nabi tiga unsur yang tolong menolong memelihara Al Qur'an yang telah diturunkan itu.
  1. Hafalan dari mereka yang hafal Al Qur'an.
  2. Naskah-naskah yang ditulis untuk Nabi.
  3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Dalam pada itu oleh Jibril diadakan ulangan (repetisi) sekali setahun. Di waktu ulangan itu Nabi di suruh mengulang memperdengarkan Al Qur'an yang telah diturunkan. Ditahun beliau wafat, ulangan itu diadakan oleh Jibril dua kali. Nabi sendiripun sering pula mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu disuruh beliau membacakan Al Qur'an itu di mukanya, untuk membetulkan hafalan atau bacaan mereka. Nabi baru wafat di waktu Al Qur'an itu telah cukup diturunkan, telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayatnya dalam suatu surah telah disusun menurut tertib urut yang ditunjukkan sendiri oleh Nabi.

Mereka telah mendengar Al Qur'an itu dari mulut Nabi berkali-kali, dalam sembahyang, dalam pidato-pidato beliau, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Pendeknya Al Qura'nul Karim adalah dijaga dan terpelihara baik-baik, dan Nabi telah menjalani suatu cara yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Qur'an itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab di waktu itu. Satu hal yang menarik perhatian, ialah Nabi baru wafat sebagai disebutkan diatas, ialah di kala Al Qur'an itu telah cukup diturunkan, dan Al Qur'an itu sempurna diturunkan ialah di waktu Nabi telah mendekati masanya untuk kembali ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini bukanlah suatu kebetulan saja, hanya telah diatur oleh Yang Maha Esa.


Al Qur'an di masa Abu Bakar r.a.

Sesudah Rasulullah wafat, para sahabat baik Anshar maupun Muhajirin, sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah. Pada awal masa pemerintahannya banyak diantara orang-orang Islam yang belum kuat imannya. Terutama di Nejed dan Yaman banyak di antara mereka yang menjadi murtad dari agamanya, dan banyak pula yang menolak membayar zakat. Disamping itu ada pula orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi. Hal ini dihadapi oleh Abu Bakar dengan tegas, sehingga ia berkata terhadap orang-orang yang menolak membayar zakat itu demikian:"Demi Allah! Kalau mereka menolak menyerahkan seekor anak kambing sebagai zakat (seperti apa) yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka." Maka terjadilah peperangan yang hebat untuk menumpas orang-orang murtad dan pengikut-pengikut orang yang mengaku dirinya nabi itu. Diantara peperangan-peperangan itu yang terkenal adalah peperangan Yamamah. Tentara Islam yang ikut dalam peperangan ini, kebanyakan terdiri dari para sahabat dan para penghafal Al Qur'an, Dalam peperangan ini telah gugur 70 orang penghafal Al Qur'an. Bahkan sebelum itu gugur pula hampir sebanyak itu dari penghafal Al Qur'an di masa Nabi pada suatu pertempuran di sumur Ma'unah dekat kota Madinah. Oleh karena Umar bin Khaththab khawatir akan gugurnya para sahabat penghafal Al Qur'an yang masih hidup, maka ia lalu datang kepada Abu Bakar memusyawaratkan hal ini. Dalam buku-buku Tafsir dan Hadist percakapan yang terjadi antara Abu Bakar, Umar dan Zaid bin Tsabit mengenai pengumpulan Al Qur'an diterangkan sebagai berikut:

Umar berkata kepada Abu Bakar: "Dalam peperangan Yamamah para sahabat yang hafal Al Qur'an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat Al Qur'an itu perlu dikumpulkan."

Abu Bakar menjawab: "Mengapa aku akan melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah."
Umar menegaskan: "Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik." Dan ia berulang kali memberikan alasan-alasan kebaikan mengumpulkan Al Qur'an ini, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima pendapat Umar itu. Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya:"Umar ini mengajakku mengumpulkan Al Qur'an." Lalu diceritakannya segala pembicaraan yang terjadi antara dia denga Umar. Kemudian Abu Bakar berkata: "Engkau adalah pemuda yang cerdas yang kupercayai sepenuhnya. Dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang selalu disuruh Rasulullah. Oleh karena itu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Al Qur'an itu." Zaid menjawab: "Demi Allah! ini adalah pekerjaan yang berat bagiku, seandainya aku diperintahkan memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al Qur'an yang engkau perintahkan itu." Dan selanjutnya ia berkata kepada Abu Bakar dan Umar: "Mengapa kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Nabi?" Abu Bakar menjawab: "Demi Allah ini adalah perbuatan yang baik." Ia lalu memberikan alasan-alasan kebaikan pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an itu, sehingga membukakan hati Zaid, kemudian ia mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an dari daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, Tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al Qur'an.

Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an itu Zaid bin Tsabit bekerja amat teliti. Sekalipun beliau hafal Al Qur'an seluruhnya, tetapi untuk kepentingan pengumpulan Al Qur'an yang sangat penting bagi umat Islam itu, masih dipandang perlu mencocokkan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi.

Dengan demikian Al Qur'an seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran, dan diikatnya dengan benar, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, Mushhaf ini tetap di tangan Abu Bakar sampai ia meninggal, kemudian dipindahkan kerumah Umar bin Khatthab dan tetap ada disana selama pemerintahannya. Sesudah beliau wafat, Mushhaf itu dipindah kerumah hafsah, puteri Umar, isteri Rasulullah sampai masa pengumpulan dan penyusunan Al Qur'an di masa Khalifah Utsman.


Membukukan Al Qur'anul karim di masa Utsman. r.a.

Tetaplah demikian keadaan Al Qur'an itu, artinya telah dituliskan dalam satu naskah yang lengkap, diatas lembaran-lembaran yang serupa, ayat-ayat dalam sesuatu surat tersusun menurut tertib urut yang ditunjukkan oleh Nabi. Lembaran-lembaran ini digulung dan diikat dengan benang, disimpan oleh mereka yang disebutkan diatas.

Diatas telah disebutkan bahwa di permulaan pemerintahan Khalifa Abu Bakar terjadilah riddah (pemberontakan orang-orang murtad). Yang kemudian dapat dipadamkan oleh Abu Bakar. Maka setelah Jaziratul Arab tenteram kembali, mulailah Abu Bakar menyiarkan Islam ke negeri-negeri yang berdekatan.

Dimasa beliau tentara Islam telah memasuki kota-kota Hirah dan Anbar (di Mesopotamia) dan telah sampai disungai Yarmuk di Syria, yang dimasa pemerintahan Umar bin Khaththab, kaum Muslimin telah menaklukkan Bactriane dekat sungai ayax (Amu Daria) di sebelah timur, dan Mesir disebelah barat.

Dimasa Khalifah Ustman bin Affan, pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah timur, dan Tripoli di sebelah barat. Dengan demikian kelihatanlah kaum Muslimin telah terpencar-pencar di Mesir, Syria, Irak, Persia, Afrika. Kemana mereka pergi, dan di mana mereka tinggal tinggal Al Qur'anul Karim tetap jadi Imam mereka, di antara mereka banyak yang menghafal Al Qur'an itu. Pada mereka ada naskah-naskah dari Al Qur'an itu, tapi naskah-naskah yang mereka punyai tidak sama susunan surat-suratnya. Begitu juga ada didapat di antara mereka pertikaian tentang bacaan Al Qur'an itu. Asal mula pertikaian bacaan ini ialah karena Rasulullah sendiri pun ada memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada dimasanya, untuk membaca dan melafazkan Al Qur'an itu menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberika Rasulullah supaya mudah oleh mereka menghafal Al Qur'an itu. Tetapi kemudian kelihatan tanda-tanda bahwa pertikaian tentang bacaan Al Qur'an ini kalau dibiarkan saja, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum muslimin. Adalah orang yang mula-mula menghadapkan perhatian kepada hal ini seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Beliau ini ikut dalam pertempuran menaklukkan Armenia dan Azerbaiyan, maka selama perjalanan, dia pernah mendengar pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al Qur'an, dan pernah dia mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya: "Bacaan saya lebih baik dari bacaan mu."

Keadaan ini mengagetkan Huzaifah, maka di waktu dia telah kembali ke Madinah, segera ditemuinya Utsman bin Affan, dan kepada beliau diceritakannya apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan Al Qur'an itu, seraya berkata: "Susullah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang AlKitab, sebagai perselisihan Yahudi dan Nasara". Maka oleh Khalifah Utsman bin Affan, dimintakan kepada Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al Qur'an yang ditulis di masa Khalifah Abu Bakar dahulu, yang disimpan oleh Hafsah untuk disalin, dan oleh Hafsah lembaran-lembaran Al Qur'an itu diberikanlah kepada Khalifah Ustman bin Affan. Oleh Utsman dibentuklah satu panitia, terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur Rahman bin Harist bin Hisyam. Tugas panitia ini ialah membukukan Al Qur'an, yakni menyalin dari lembaran-lembaran yang tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman menasehatkan supaya:
  1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al Qur'an.
  2. Kalau ada pertikaian antara mereka tentan bahasa (bacaan), maka haruslah ditulis menurut dialek suku Quraisy, sebab Al Qur'an itu diturunkan menurut dialek mereka.
Maka dikerjakan panitia sebagai yang ditugaskan kepada mereka, dan setelah tugas itu selesai, maka lembaran-lembaran yang dipinjam dari hafsah itu dikembalikan kepadanya. Al Qur'an yang telah dibukukan itu dinamakan "Al Mushhaf", dan oleh panitia ditulis lima buah Al Mushhaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Makkah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula dari masing-masing mushhaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Ustman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan "Mushhaf Al Imam". Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al Qur'an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Maka dari Mushhaf yang ditulis dizaman Utsman itulah kaum Muslimin diseluruh pelosok menyalin Al Qur'an itu.

Adapun kelaina bacaan sampai sekarang masih ada, karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan muntawatir dari nabi terus dipakai oleh kaum Muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang dituliskan di masa Utsman itu. Dengan demikian, maka pembukuan Al Qur'an di masa Utsman itu faedahnya yang terutama:
  1. Menyatukan kaum Muslimin pada satu macam Mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.
  2. Menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada kelainan bacaan, tetapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman. Sedang bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman tidak dibolehkan lagi.
  3. Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib sebagai yang kelihatan pada mushhaf sekarang.
Disamping itu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat menganjurkan agar para sahabat menghafal ayat-ayat Al Qur'an. Karena itu banyak sahabat-sahabat yang menghafalnya baik satu surat, ataupun menghafal Al Qur'an seluruhnya. Kemudian di zaman tabi'ien, tabi'it tabi'ien dan selanjutnya usaha-usaha menghafal Al Qur'an ini dianjurkan den diberi dorongan oleh para Khalifah sendiri.

Pada zaman sekarang di Mesir, di sekolah-sekolah Awaliyah diwajibkan menghafal Al Qur'an, kalau mereka hendak menamatkan pelajaran di sekolah-sekolah Awaliyah dan hendak meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah Muallimin, maka hafalan mereka tentang Al Qur'an itu selalu di uji, sehingga pelajar-pelajar lepasan sekolah Muallimin telah hafal Al Qur'an seluruhnya dengan baik. Untuk mengambil ijazah sekolah persiapan Darul Ulum, pelajar-pelajar di uji dalam hafalan Al Qur'anul Karim. Ditingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah pada Al Azhar pun diwajibkan menghafal Al Qur'an. Begitu pula halnya di negara-negara Arab yang lain, kegiatan menghafal Al Qur'an itu dapat dilihat dengan jelas.

Dengan usaha-usaha yang tersebut diatas terpeliharalah Al Qur'anul Karim itu, dan sampailah dia kepada kita sekarang dengan tidak ada perubahan sedikit juga dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam pada itu, pada tiap-tiap zaman dan masa dia di hafal oleh jutaan umat Islam, ini adalah suatu inayat Allah untuk menjaga Al Qur'an, dengan demikian terbuktilah firman Allah:


Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" (Al-Qur'an: Surah Al Hijr, Ayat 9)