“Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya” ( Pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.)

Minggu, 13 Mei 2012

Tafsir Al Qur'anul Karim

Al Qur'an adalah Kitab Allah yang diturunkan Kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, mengandung hal-hal yang berisi tentang keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup didunia dan diakhirat.

Al Qur'an dalam hal menerangkan hal-hal yang tersebut diatas, ada yang dikemukakan secara terperinci seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan oleh hadist-hadist Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan ada yang diserahkan kepada kaum muslimin sendiri memperincinya sesuai dengan keperluan suatu kelompok manusia, keadaan, masa dan tempat, seperti dalam soal kenegaraan. Al Qur'an mengemukakan "prinsip musyawarah" adanya suatu badan yang mewakili rakyat, keharusan berlaku adil dan sebagainya.

Disamping itu agama Islam membuka pintu ijtihad1 bagi kaum Muslimin dalam hal yang diterangkan oleh Al Qur'an dan hadist secara qath'i (tegas). Pembukaan pintu ijtihad inilah yang memungkinkan manusia memberi komentar, memberikan keterangan dan mengeluarkan pendapat tentang hal yang tidak disebut atau yang masih umum dan belum terperinci dikemukakan oleh Al Qur'an. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasalam sendiri beserta sahabat-sahabat beliau adalah orang-orang yang menjadi pelopor dalam hal ini, kemudian diikuti oleh para tabi'in,2 para tabi'it tabi'in3 dan generasi-generasi yang tumbuh dan hidup pada masa-masa berikutnya.

Memang, pada masa hidup Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasalam kebutuhan tentang tafsir Al Qur'an belumlah begitu dirasakan, sebab apabila para sahabat tidak atau kurang memahami suatu ayat Al Qur'an, mereka dapat langsung menanyakannya kepada rasulullah. Dalam hal ini Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasalam selalu memberikan jawaban yang memuaskan. Setelah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasalam meninggal, apalgi setelah agama Islam meluaskan sayapnya keluar Jaziratul Arab, dan memasuki daerah-daerah berkebudayaan lama, terjadilah persinggungan antara agama Islam yang masih dalam bentuk kesederhanaannya disatu pihak, dengan kebudayaan lama yang telah mempunyai pengalaman, perkembangan serta keuletan daya juang di pihak yang lain. Disamping itu kaum muslimin menghadapi persoalan baru, terutama yang berhubungan dengan pemerintahan dan pemulihan kekuasaan berhubung dengan meluasnya daerah Islam itu. Pergeseran, persinggungan dan keperluan ini menimbulkan persoalan baru. Persoalan baru itu akan dapat dipecahkan apabila ayat Al Qur'an ditafsirkan dan diberi komentar sekedar menjawab persoalan-persoalan yang baru timbul itu. Maka tampillah kemuka beberapa orang sahabat dan tabi'in memberanikan diri menafsirkan ayat Al Qur'an yang masih bersifat umum dan global itu, sesuai dengan batas-batas lapangan berijtihad bagi kaum muslimin.

Demikianlah, masa berlalu, tiap-tiap masa hidup generasi yang mewarisi kebudayaan dari generasi sebelumnya; kebutuhan suatu generasi berlainan dan hampir tidak sama dengan kebutuhan generasi yang lain. Begitu juga perbedaan dan tempat keadaan, belumlah dapat dikatakan sama keperluan dan kebutuhannya, sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah didapat dan dilakukan oleh generasi-generasi yang dahulu, serta saling tukar menukar pengalaman yang dialami oleh manusia pada suatu daerah dengan daerah yang lain; mana yang masih sesuai dipakai, mana yang kurang sesuai dilengkapi, dan mana yang tidak sesuai lagi dikesampingkan, sampai nanti keadaan dan masa mebutuhkan pula.

Begitu pula halnya tafsir Al Quran; ia berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir Al Qur'an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama Islam sendiri. Dalam pada itu ilmu Tafsir sendiri yang dahulu merupakan bagian dari ilmu Hadist telah mengemansipasikan diri dengan ilmu-ilmu yang lain, maka didalam ilmu Tafsir terdapat pula aliran-aliran dan perbedaan pendapat yang timbul karena perbedaan pandangan dan segi meninjaunya, sehingga pada saat ini terdapat puluhan, bahkan ratusan kitab-kitab tafsir dari berbagai aliran, sebagai hasil karya dari generasi-generasi yang sebelumnya. Dalam menguraikan perkembangan kitab-kitab tafsir dan ilmu Tafsir nanti akan dibagi dalam tiga periode:
  1. Periode Mutaqaddimin.
  2. Periode Mutaakhirin
  3. Periode Baru.

PERIODE SAHABAT, TABI'IN, TABI'IT TABI'IN (MUTAQADDIMIN)

a. Perbedaan tingkatan para sahabat dalam memahami Al Qur'an.
Al Qur'anul Karim diturunkan dalam bahasa Arab, karena itu umumnya orang-orang Arab dapat mengerti dan memahaminya dengan mudah. Dalam pada itu para sahabat adalah orang-orang yang paling mengerti dan memahami ayat-ayat Al Qur'an , akan tetapi para sahabat itu sendiri mempunyai tingkatan yang berbeda-beda dalam memahami Al Qur'an. Hal ini disebabkan perbedaan tingkatan pengetahuan serta kecerdasan para sahabat itu sendiri. Sebab-sebab yang lain menyebabkan perbedaan tingkatan para sahabat dalam memahami Al Qur'an ialah:
  1. Sekalipun para sahabat orang-orang Arab dan berbahasa Arab, tetapi pengetahuan mereka tentang bahasa Arab berbeda-beda, seperti berbeda-bedanya pengetahuan para sahabat tentang sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat dan sastra Arab Jahiliyah, kata-kata yang terdapat dalam Al Qur'an dan sebagainya, sehingga tingkatan mereka dalam memahami ayat-ayat Al Qur'an berbeda-beda pula.
  2. Ada sahabat yang sering mendampingi Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sehingga banyak mengetahui sebab-sebab ayat Al Qur'an diturunkan dan ada pula yang jarang mendampingi beliau. Padahal sebab-sebab Al Qur'an diturunkan itu, sangat diperlukan untuk menafsir Al Qur'an. Karena itu sahabat-sahabat yang banyak pengetahuan mereka tentang sebab Al Qur'an diturunkan itu, lebih mampu menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an dibandingkan dengan yang lain. Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut: Diriwayatkan bahwa Kalifah Umar bin Khaththab telah mengangkat Qudama sebagai gubenur Bahrain. Sekali peristiwa datanglah Jarud mengadu kepada Khalifah Umar, bahwa Qudamah telah meminum khamar dan mabuk. Umar berkata: Siapakah orang lain yang ikut menyaksikan perbuatan itu?" kata Jarud: "Abu Hurairah telah menyaksikan apa yang telah kukatan". Khalifah Umar memanggil Qudamah dan mengatakan: "Ya Qudamah! Aku akan mendera engkau!" Berkata Qudamah: "Seandainya aku meminumkhamar sebagaimana yang mereka katakan, tidak ada satu alasan bagi engkau untuk mendera". Umar berkata: "Kenapa?" Jawab Qudamah: "Karena Allah telah berfirman dalam dalam surah Al Maaidah ayat 93:


    Artinya : “tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-Qur'an: Surah Al Maaidah, Ayat 93)

    Sedang saya adalah orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, kemudian bertakwa dan beriman, saya ikut bersama Nabi Muhammad Shallallahu "Alaihi Wasallam dalam perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq dan peperangan yang lain." Umar berkata: "Apakah tidak ada diantara kamu sekalian yang akan membantah perkataan Qudamah?". Berkata Ibnu Abbas: "Sesungguhnya ayat 93 surah Al Maaidah diturunkan sebagai uzur bagi umat pada masa sebelum ayat ini diturunkan, karena Allah berfirman:


    Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Qur'an: Surah Al Maaidah, Ayat 90)

    Berkata Umar: "Benarlah Ibnu Abbas."
    Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Ibnu Abbas lebih mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat 93 Surah Al Maaidah dibanding dengan Qudamah. Sebab menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa setelah ayat 90 Surah Al Maaidah diturunkan, sahabat-sahabat saling menanyakan tentang keadaan para sahabat yang telah meninggal, padahal mereka dahulu sering meminum khamar seperti Saidina Hamzah, paman Nabi yang gugur sebagai syuhada pada perang Uhud. Ada yang mengatakan bahwa Hamzah tetap berdosa karena perbuatannya yang telah lalu itu. Karena itu turunlah ayat 93 Surah Al Maaidah, yang menyatakan bahwa umat Islam yang meninggal sebelum turunnya ayat 90 Surah Al Maaidah tidak berdosa karena meminum khamar itu, tetapi umat sekarang berdosa meminumnya.
  3. Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang adat isitiadat, perkataan dan perbuatan Arab Jahiliyah. Para sahabat mengetahui haji di masa Jahiliyah akan lebih dapat memahami ayat-ayat Al Qur'an yang berhubungan dengan haji, dibanding dengan para sahabat yang kurang tahu.
  4. Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jaziratul Arab, pada waktu suatu ayat Al Qur'an diturunkan. Sebab suatu ayat yang diturunkan ada yang berhubungan dengan penolakan atau sanggahan terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, akan lebih dapat memahami ayat-ayat tersebut dibanding dengan yang tidak mengetahui.

PERIODE MUTAAKHIRIN (ABAD 4 – ABAD 12 H)

Setelah Islam makin meluaskan sayapnya dan banyak kekuasaan yang berada di bawah tanggung jawabnya, seperti daerah Persia, Mesir dan Turki, terjadilah apa yang disebut ‘gesekan budaya’ yang berakibat kaum muslimin beusaha mempalajari ilmu-ilmu yang mereka miliki, seperti ilmu logika, ilmu filsafat dan ilmu Matematika. Gaya ini juga menimbulkan perubahan dalam kitab-kitab Tafsir. Ahli Tafsir tidak hanya menukil tafsir dari Sahabat, Tabi’in atau Tabi’ut Tabi’in saja, tetapi mereka juga berusaha untuk meneliti dan mengkorelasikan dengan pengetahuan yang telah mereka dapat dari lingkungannya, di samping itu ada juga yang menafsirkan al-Quran dengan melihat segi bahasa atau keindahan bahasanya saja.

Karena itu kitab-kitab Tafsir pada periode ini dapat dilihat dari berbagai segi:
  1. Golongan yang menafsirkan al-Quran dari segi keindahan gaya dan keindahan bahasa dan segi tata bahasa, contoh Tafsir Abu Hayan,tafsirnya Ibnu Nuhas, al-Zajjaj dalam tafsirnya: Ma’anil Qur'an; al-Waahadi dalam tafsirnya: al-Basith; Abu Hayyaan Muhammad bin Yusuf al Andalusi dalam tafsirnya; Al Bahrul Muhiith.
  2. Golongan yang menitik beratkan pembahasan mereka dari segi kisah-kisah dan cerita-cerita yang terdahulu termasuk berita-berita dan cerita-cerita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan bahkan berasal dari kaum Zindik yang ingin merusak agama Islam. Dalam menghadapi tafsir seperti ini sangat diperlukan penelitian dan pemeriksaan oleh kaum Muslim sendiri. Yang menafsirkan Al Qur'an secara ini yang paling terkenal ialah Ats Tsa'labi, kemudian "Alaauddin bin Muhammad al Baghdaadi (wafat 741 H), tafsir Al Khaazin juga termasuk golongan ini.
  3. Golongan yang mengutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum: menetapkan hukum fiqh, penafsiran yang seperti ini telah dilakukan oleh Al Qurthuby dengan tafsirnya: Jami' Ahkaamul Qur'an; Ibnul Araby denga tafsirnya: Ahkaamul Qur'an, Al Jashshaash dengan tafsirnya Ahkaamul Qur'an, Hasan Shiddiq Khan dengan tafsirnya: Nailul Maraam.
  4. Golongan yang menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat itu seakan-akan berlawanan dengan sifat-sifat kesucian dan ketinggian Allah. Lalu dengan penafsiran itu teranglah bahwa ayat-ayat itu tidak berlawanan dengan sifat-sifat Allah yang sesungguhnya. Penafsir yang terkenal menafsirkan ayat seperti tersebut di atas ialah Imam Ar Razy (meninggal 610 H) dengan tafsirnya; Mafaa'tihul Ghaib.
  5. Golongan yang menitik beratkan penafsirannya kepada Isyarat-isyarat Al Qur'an yang berhubungan dengan ilmu suluk dah tashawwuf, seperti tafsir: At Tasturi, susunan Abu Muhammad Sahl bin Abdullah At Tasturi.
  6. Golongan yang hanya memperkatakan lafazh Al Qur'an yang gharib (yang jarang terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti kitab Mu'jam Ghariibil Qur'an, nukilan Muhammad Fuad Abdul Baaqi dari Shaheh Bukhari.

Di samping itu masih kita dapati kitab-kitab tafsir seperti:
  1. Aliran Mu'tazilah.
    Banyak sekali, bahkan ratusan kitab-kitab tafsir yang dikarang menurut aliran ini sesuai dengan dasar-dasar pokok aliran Mu'tazilah. Tetapi yang sampai kepada generasi yang sekarang amat sedikit sekali jumlahnya, seperti Kitab Majaalisusy Syariif al Murtadha. Menurut pendapat sebagian ahli tafsir kitab Majaalisusy Syariif al Murtadha bernafaskan aliran Syi'ah Mu'tazilah. Kumpulan tafsir ini sekarang telah dicetak di Mesir dengan nama 'Amali Al Murtadha.
  2. Aliran Syi'ah.
    Kaum Syi'ah banyak menghasilkan kitab-kitab tafsir. Penafsiran mereka ditujukan kepada pengagungan Ali dan keturunannya, penghinaan terhadap Abu bakar, Umar, Utsman dan sebagainya. Mereka berani melakukan ta'wil yang jauh sekaliuntuk kepentingan aliran mereka, seperti sapi betina yang disuruh kaum Musa a.s. menyembelihnya ditafsirkan dengan Aisyah isteri Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, Jibt dan Thaguut di tafsir dengan Muawiyah dan Amr bin Ash dan sebagainya.

TAFSIR PADA PERIODE BARU

Periode ini dapat dikatakan dimulai sejak abad 19 samapi saat ini, pada waktu mana seluruh bagian-bagian bumi yang menganut agama Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa barat telah mulai bangkit kembali. Dimana-mana umat Islam telah merasakan agama mereka dihinakan, dan menjadi alat permainan, serta kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.

Maka terkenallah modernisasi Islam yang dilakukan di Mesir oleh tokoh-tokoh Islam Jamaluddin al-Afghani dan murid-murid beliau syekh Muhammad Abduh. Di pakistan dan di India dipelopori oleh Sayid Ahmad Khan. Gerakan modernisasi ini tidak hanya di Mesir dan Pakistan saja, tetapi telah menjalar pula di Indonesia, yang dipelopori oleh H.O.S Cokroaminoto dengan Syarikat Islamnya, kemudian K.H. Ahmad Dahlan yang terkenal dengan perkumpulan Muhammadiyahnya dan K.H. Hasyim Asy'ari yang terkenal dengan perkumpulan Nahdlatul Ulamanya.

Bentuk modernisasi Islam pada masa ini ialah menggali kembali Api Islam yang telah padam, membela agama Islam dari serangan Sarjana-sarjana Barat. Dalam usaha membela agama Islam ini, kaum Muslimin mempelajari pengetahuan-pengetahuan, kemajuan-kemajuan, bahkan tradisi Barat itu untuk dijadikan alat penangkis serangan-serangan itu.

Begitu pulalah kitab tafsir yang dikarang dalam periode ini, ia mengikutigaris perjuangan dan jalan pikiran kaum Muslimin pada waktu itu, seperti halnya: Tafsir al Manar, yang ditulis Said Rasyid Redha, tafsir Mahaasinut ta'wil susunan Syekh Jamaluddin Al Qasimi, Tafsir Thanthawi Jauhari dan tafsir yang lain yang tidak sedikit jumlahnya.



  1. Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
  2. Tabi'in artinya pengikut, adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu saja lebih muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi.
  3. Tabi'it tabi'in artinya pengikut Tabi'in, adalah orang Islam teman sepergaulan dengan para Tabi'in dan tidak mengalami masa hidup Sahabat Nabi. Tabi'it tabi'in disebut juga murid Tabi'in. Menurut banyak literatur Hadist : Tabi'it Tabi'in adalah orang Islam dewasa yang pernah bertemu atau berguru pada Tabi'in dan sampai wafatnya beragama Islam. Dan ada juga yang menulis bahwa Tabi'in yang ditemui harus masih dalam keadaan sehat ingatannya. Karena Tabi'in yang terahir wafat sekitar 110-120 Hijriah. Dalam kalangan 4 imam mazhab ahli sunnah waljamaah imam Hanafi tidak termasuk dalam tabi' tabi'in karena beliau pernah berguru dengan sahabat Nabi. Manakala baik 3 imam yaitu imam Malik dan imam Syafi'i adalah tabi' tabiin karena mereka berguru dengan tabiin.